BAGAIMANA UNTUK MEMAJUKAN
KEPARIWISATAAN DI INDONESIA
Mengapa
orang dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan sebagainya datang
berduyun-duyun ke pantai Kuta dan pantai Sanur di Bali? Bukankah di
negara mereka sendiri terdapat banyak pantai yang mungkin saja
pemandangan alamnya lebih indah daripada pemandangan pantai Kuta dan
Sanur di Bali tersebut? Bila kita kaji lebih dalam, ternyata yang
menjadi tujuan mereka, para turis asing tersebut adalah ingin melihat
Kebudayaan Bali yang terkenal eksotik dan unik, yang berbeda dengan
kebudayaan masyarakat mereka. Bila Bali tidak menawarkan kebudayaan
masyarakatnya tersebut, mungkin tidak akan ada daya tarik para wisatawan
untuk mengunjunginya.
Hal
itulah sebenarnya merupakan gambaran konkret dari konsep pariwisata
budaya yang istilahnya sering disebut-sebut oleh para pengambil
kebijakan (pemerintah) dan para akademisi, namun seringkali sulit untuk
dijelaskan dalam definisi konseptual yang operasional, terutama dalam
menyepakati konsep kebudayaan itu sendiri.
Dalam
khazanah antropologi Indonesia, kebudayaan dalam perspektif klasik
pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh dengan cara
belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang
merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa, dan karya manusia, termasuk di
dalamnya benda-benda hasil kreativitas/ciptaan manusia. Namun dalam
perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan
sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia
yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan
sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan.
Dengan
demikian, pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang berdasarkan
pada mosaik tempat, tradisi, kesenian, upacara-upacara, dan pengalaman
yang memotret suatu bangsa/suku bangsa dengan masyarakatnya, yang
merefleksikan keanekaragaman (diversity) dan identitas (character) dari
masyarakat atau bangsa bersangkutan. Garrison Keillor, pada tahun 1995
dalam pidatonya pada White House Conference on Travel & Tourism di
Amerika Serikat, telah mendefinisikan pariwisata budaya di Amerika
secara baik dengan mengatakan, "We need to think about cultural tourism
because really there is no other kind of tourism. It's what tourism
is...People don't come to America for our airports, people don't come to
America for our hotels, or the recreation facilities....They come for
our culture: high culture, low culture, middle culture, right, left,
real or imagined -- they come here to see America."
Indonesia
adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alam dan sumber daya
budaya yang melimpah. Bangsa kita merupakan bangsa yang serba multi,
baik itu multi-insuler, multibudaya, multibahasa, maupun multiagama.
Kesemuanya itu bila dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi
untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa kita.
Sayangnya,
dalam wacana pariwisata budaya di tingkat nasional, yang seringkali
dijadikan rujukan dan contoh adalah pariwisata di Bali. Seolah-olah
hanya daerah Bali yang hanya bisa dimajukan pariwisata budayanya untuk
menarik kunjungan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tidak
salah memang bila kita membanggakan keberhasilan Bali sebagai daerah
tujuan pariwisata dunia yang telah menghasilkan sumbangan devisa
terhadap negara dalam jumlah besar. Namun bila kita terjebak hanya
mengandalkan satu daerah Bali saja, maka kemajuan pariwisata Indonesia
akan mengalami ketergantungan yang sangat tinggi terhadap daerah
tersebut. Hal ini terbukti, ketika di Bali terjadi tragedi bom yang
diledakkan oleh kaum teroris, maka penerimaan devisa negara kita di
bidang pariwisata menjadi anjlok.
Kemajuan
pariwisata budaya di Bali sangat ironis dengan kondisi pariwisata
budaya di daerah-daerah Indonesia lainnya. Di Subang, Jawa Barat
misalnya, sepuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang
berminat untuk belajar tari jaipong, sisingaan, dan menjadi dalang
wayang golek. Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan
selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini,
ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah
tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di
televisi dan Taman Mini. Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut,
bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang
menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga
dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat
sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar